Jumat, 30 Desember 2011

biDadari TanPa sayAp




Namaku  Choco, mungkin terdengar aneh tapi entahlah mengapa orangtuaku memberi nama itu padaku. Namun yang pasti, ini kisahku.  Kisahku dimulai pada hari itu. Hari dimana aku bertemu dengan dia, Sarah.
“Eh ada anak baru, kata Bu Iin sih pidahan dari Jakarta” seru Jamil dari luar kelas namun suaranya terdengar hingga ke dalam kelas.
Aku tidak begitu memperhatikan karena memang aku menganggap itu tak ada hubungannya denganku.  Ketika bel jam pelajaran pertama berdering sampai gendang telinga serasa mau pecah, Bu Iin wali kelasku masuk dan memperkenalkan seseorang yang masuk bersama beliau. Dia gadis yang cantik punya kulit kuning langsat, badannya ramping, dan bentuk tubuh ideal. Pasti dia akan menjadi incaran cowok satu sekolah. Kelihatan sekali kalau Sarah itu belasteran Cina, terlihat dari matanya yang sedikit sipit.
Bu Iin menyuruhnya duduk di salah satu bangku yang kosong. Hanya ada dua tempat kosong, di sebelah Yustin dan di sebelahku. Jujur, aku berharap dia tidak duduk disebelahku karena itu merepotkan. Tapi, dia sudah berdiri di sisi kanan mejaku, berharap agar aku memperbolehkannya duduk disebelahku. Aku bukan tipe orang yang suka basa basi, jadi aku tidak wajib untuk menyapa dan beramah tamah dengannya.
“Boleh aku duduk disini” tanyanya. Aku menoleh kearahnya menunjukkan ekspresi datarku. “Terserah” jawabku singkat dan kembali membaca novel yang sejak tadi ku baca. Sarah punya aroma parfum yang tajam tapi lembut. Mungkin tidak sepenuhnya aku tidak peduli pada sekelilingku, termasuk dia.
“Eh, nama kamu siapa?”tanya Sarah sedikit berbisik di tengah pelajaran fisika yang membosankan. Aku malas untuk menjawabnya jadi ku tunjukkan buku catatanku. “Nama kamu lucu, ya. Aku suka banget lo sama chocolate”. Aku tidak menghiraukannya dan melanjutkan catatan yang menghiasi whiteboard, penuh hampir tak terlihat bagian putihnya.
“Choco, ntar mau nemenin aku nggak, liat-liat sekolah?”. Aku menoleh kea rah Sarah tetap dengan wajah datarku. “Nggak” jawabku singkat dengan nada ketus. “Kenapa?” tanyanya.  Aku tak menjawabnya karena jalau aku menjawabnya pasti akan muncul pertanyaan baru.
Beberapa menit berlalu, pergantian jam pelajaran pun dimulai. Pelajaran olahraga. Ketika yang lainnya sibuk mengantri ke ruang ganti, aku tidak sengaja melihat Sarah sedang membicarakan sesuatu dengan Pak Lutfi, guru olahraga yang menjadi rebutan satu sekolah karena beliau adalah guru muda yang belum menikah. Hanya terlihat ekspresi mengangguk dari Sarah dan ekspresi serius dari Pak Lutfi. Sebenarnya aku penasaran, tapi ku batalkan niatku bertanya.  Sarah menoleh ke arahku berdiri dan tersenyum. Tapi senyumnya kali ini berbeda. Dia berdiri dan menghampiriku.
“Hai” sapanya.
“Kenapa nggak ganti?” tanyaku. Bukan bermaksud basa-basi tapi aku memang penasaran. Dia menjawab dengan senyum dan gelengan. Aku mengangguk memutuskan untuk tidak bertanya lagi.
Untuk sebagian siswi, lari adalah hal yang menyenangkan namun untukku dan sebagian lainnya merupakan malapetaka. Hari ini ada penilaian lari keliling lapangan sebanyak 5 kali putaran. Sudah dipastikan ini mimpi buruk untukku karena aku selalu jadi yang terakhir sampai.
Ketika yang lain sudah menyelesaikan bagian akhir. Aku tetap berlari sekuat yang aku mampu. Namun tetap saja, aku tertinggal jauh dari lainnya. Hanya Pak Lutfi dan Sarah yang menungguku di pinggir lapangan. Setelah selesai, aku langsung terkulai lemas di sebelah Sarah.
“Kerja bagus, Choco” kata Sarah memberikan air mineral yang dia beli. Aku menggeleng tapi dia memaksaku menerimanya.
Aku dan Sarah memutuskan kembali ke kelas dengan keadaan kakiku yang masih lemas dan keringatku yang berkucuran. “Capek, ya? Tapi kamu hebat, lho” kata Sarah ketika kami memasuki kelas. “Jadi yang paling terakhir” jawabku datar. Sarah menggeleng.
“Seenggaknya kamu bisa ngerasain rasanya kecapean karena lari” kata Sarah, sempat aku menangkap ekspresi sedih dari wajahnya. Dia menyerahkan sobekan kertas padaku. “Ini nomor telpon aku, nanti telpon ya. Nggak nanti juga nggak pa-pa, tapi tolong disimpen, ya” pintanya. Aku mengangguk, ku ambil ponselku dan ku simpan nomornya.
Wajahnya tak seceria saat pertama kali dia datang dan menyapaku. Dia tampak lemas, padahal dia tidak ikut olahraga.”Ntar aku ajak jajan sama keliling sekolah, mau?”ajakku. Sarah terpaku dan diam beberapa saat. Kemudian dia mengangguk kuat-kuat, raut wajahnya kembali seperti semula.


                                                                                                                        bersambung.......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar