Namaku Choco, mungkin terdengar aneh tapi entahlah mengapa orangtuaku memberi nama itu padaku. Namun yang pasti, ini kisahku. Kisahku dimulai pada hari itu. Hari dimana aku bertemu dengan dia, Sarah.
“Eh ada anak baru, kata
Bu Iin sih pidahan dari Jakarta” seru Jamil dari luar kelas namun suaranya
terdengar hingga ke dalam kelas.
Aku tidak begitu
memperhatikan karena memang aku menganggap itu tak ada hubungannya
denganku. Ketika bel jam pelajaran
pertama berdering sampai gendang telinga serasa mau pecah, Bu Iin wali kelasku
masuk dan memperkenalkan seseorang yang masuk bersama beliau. Dia gadis yang
cantik punya kulit kuning langsat, badannya ramping, dan bentuk tubuh ideal.
Pasti dia akan menjadi incaran cowok satu sekolah. Kelihatan sekali kalau Sarah
itu belasteran Cina, terlihat dari matanya yang sedikit sipit.
Bu Iin menyuruhnya
duduk di salah satu bangku yang kosong. Hanya ada dua tempat kosong, di sebelah
Yustin dan di sebelahku. Jujur, aku berharap dia tidak duduk disebelahku karena
itu merepotkan. Tapi, dia sudah berdiri di sisi kanan mejaku, berharap agar aku
memperbolehkannya duduk disebelahku. Aku bukan tipe orang yang suka basa basi,
jadi aku tidak wajib untuk menyapa dan beramah tamah dengannya.
“Boleh aku duduk disini”
tanyanya. Aku menoleh kearahnya menunjukkan ekspresi datarku. “Terserah”
jawabku singkat dan kembali membaca novel yang sejak tadi ku baca. Sarah punya
aroma parfum yang tajam tapi lembut. Mungkin tidak sepenuhnya aku tidak peduli
pada sekelilingku, termasuk dia.
“Eh, nama kamu
siapa?”tanya Sarah sedikit berbisik di tengah pelajaran fisika yang
membosankan. Aku malas untuk menjawabnya jadi ku tunjukkan buku catatanku.
“Nama kamu lucu, ya. Aku suka banget lo sama chocolate”. Aku tidak
menghiraukannya dan melanjutkan catatan yang menghiasi whiteboard, penuh hampir
tak terlihat bagian putihnya.
“Choco, ntar mau
nemenin aku nggak, liat-liat sekolah?”. Aku menoleh kea rah Sarah tetap dengan
wajah datarku. “Nggak” jawabku singkat dengan nada ketus. “Kenapa?” tanyanya. Aku tak menjawabnya karena jalau aku
menjawabnya pasti akan muncul pertanyaan baru.
Beberapa menit berlalu,
pergantian jam pelajaran pun dimulai. Pelajaran olahraga. Ketika yang lainnya
sibuk mengantri ke ruang ganti, aku tidak sengaja melihat Sarah sedang
membicarakan sesuatu dengan Pak Lutfi, guru olahraga yang menjadi rebutan satu
sekolah karena beliau adalah guru muda yang belum menikah. Hanya terlihat
ekspresi mengangguk dari Sarah dan ekspresi serius dari Pak Lutfi. Sebenarnya
aku penasaran, tapi ku batalkan niatku bertanya. Sarah menoleh ke arahku berdiri dan
tersenyum. Tapi senyumnya kali ini berbeda. Dia berdiri dan menghampiriku.
“Hai” sapanya.
“Kenapa nggak ganti?”
tanyaku. Bukan bermaksud basa-basi tapi aku memang penasaran. Dia menjawab
dengan senyum dan gelengan. Aku mengangguk memutuskan untuk tidak bertanya
lagi.
Untuk sebagian siswi,
lari adalah hal yang menyenangkan namun untukku dan sebagian lainnya merupakan
malapetaka. Hari ini ada penilaian lari keliling lapangan sebanyak 5 kali
putaran. Sudah dipastikan ini mimpi buruk untukku karena aku selalu jadi yang
terakhir sampai.
Ketika yang lain sudah
menyelesaikan bagian akhir. Aku tetap berlari sekuat yang aku mampu. Namun
tetap saja, aku tertinggal jauh dari lainnya. Hanya Pak Lutfi dan Sarah yang
menungguku di pinggir lapangan. Setelah selesai, aku langsung terkulai lemas di
sebelah Sarah.
“Kerja bagus, Choco”
kata Sarah memberikan air mineral yang dia beli. Aku menggeleng tapi dia
memaksaku menerimanya.
Aku dan Sarah memutuskan
kembali ke kelas dengan keadaan kakiku yang masih lemas dan keringatku yang
berkucuran. “Capek, ya? Tapi kamu hebat, lho” kata Sarah ketika kami memasuki
kelas. “Jadi yang paling terakhir” jawabku datar. Sarah menggeleng.
“Seenggaknya kamu bisa
ngerasain rasanya kecapean karena lari” kata Sarah, sempat aku menangkap
ekspresi sedih dari wajahnya. Dia menyerahkan sobekan kertas padaku. “Ini nomor
telpon aku, nanti telpon ya. Nggak nanti juga nggak pa-pa, tapi tolong
disimpen, ya” pintanya. Aku mengangguk, ku ambil ponselku dan ku simpan
nomornya.
Wajahnya tak seceria
saat pertama kali dia datang dan menyapaku. Dia tampak lemas, padahal dia tidak
ikut olahraga.”Ntar aku ajak jajan sama keliling sekolah, mau?”ajakku. Sarah
terpaku dan diam beberapa saat. Kemudian dia mengangguk kuat-kuat, raut
wajahnya kembali seperti semula.
bersambung.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar